Kafas FSI Sempati. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Kamis, 27 Januari 2011

Fenomena Crop Circle dalam Pandangan Islam

Alien dan UFO? Ketika mendengar nama itu, sebagian besar orang akan terbayang sesosok makhluk cebol berkepala botak dan bermata besar, dengan latar belakang kendaraan berupa piring terbang bercahaya. Atau terbayang sebuah film yang dibintangi oleh Sigourney Weaver pada era 90-an dimana menggambarkan Alien sebagai mahluk predator. Fenomena UFO dan Alien akan selalu menjadi bahan yang menarik untuk dijadikan latar belakang sebuah film fiksi ilmiah, sebut saja Star Trek, Men in Black, dan Independence Day.
Baru beberapa hari kebelakang kita melihat diberita mauapun di media cetak lainnya bahwa telah muncul crop circel di Sleman, munculnya crop circle sungguh menghebohkan warga Indonesia khusunya warga sekitar. Banyak pendapat yang keluar mengenai ini, ada yang berpendapat bahwa hal itu adalah hanya rekayasa manusia, ada yang berpendapat itu adalah pesan dari makhluk asing yang sering disebut UFO, dan masih banyak lagi.
Semenjak awal abad 20 masyarakat semakin banyak memperbincangkan mengenai topik yang satu ini. Ditambah lagi dengan banyaknya laporan adanya penampakan kendaraan bercahaya, atau mahluk-mahluk aneh ini pada beberapa orang di berbagai tempat. Lalu wajar saja kalau kita jadi bertanya-tanya, benarkah mereka ada? Kami akan mencoba membahas masalah ini dari sudut pandang seorang muslim.
Beberapa orang beranggapan, jika suatu saat ditemukan adanya kehidupan di luar bumi, maka dogma-dogma agama akan terbantahkan. Itu sebabnya, beberapa pemuka agama tertentu merasa segan untuk berurusan dengan topik yang satu ini dan memilih tidak mempercayai keberadaannya. Namun ternyata tidak begitu halnya dengan Islam. Allah jauh-jauh hari telah memberitakan kepada kita bahwa Dia telah menciptakan makhluk-makhluk yang disebarkan di berbagai penjuru langit dan bumi.
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi serta makhluk-makhluk melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya."
(QS As Syuura : 29)
Langit disini lebih cenderung mengacu pada luar angkasa, bukan atmosfir bumi. Islam sebagai rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi alam semesta), menerima keberadaan mahluk hidup di luar angkasa sebagai bagian dari ciptaan Allah yang Maha Kuasa. Namun, bagaimana pandangan Islam tentang Alien dan UFO? Bukankah Allah tidak menyebutkan tentang mahluk-mahluk beradab lain selain Malaikat, Jin dan Manusia? Juga tidak disebutkan adanya planet lain yang memiliki kehidupan? Pertanyaan ini yang sering menjadi perdebatan di kalangan alim ulama.
Di dalam Al Qur'an maupun hadits, sering disebut-sebut tentang para penduduk langit. Sebagian ulama menafsirkan penduduk langit adalah para malaikat yang menjalankan tugasnya di seluruh penjuru langit. Namun ada sebuah hadis yang cukup menarik tentang hal ini.
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah, MalaikatNya, serta penduduk langit dan bumi, hingga semut yang ada di dalam lubangnya, dan ikan-ikan di lautan, (semuanya) bersalawat atas orang yang mengajarkan kebaikan pada manusia” (HR. Tirmidzi).
Dari hadis ini terlihat jelas bahwa Rasulullah membedakan antara malaikat dan penduduk langit. Ada yang berpendapat bahwa penduduk langit adalah orang-orang yang di surga. Namun itu mustahil, kita semua baru bisa memasuki surga setelah dibangkitkan kelak di padang mahsyar. Ada pula pendapat bahwa para penduduk langit adalah para nabi yang sudah wafat, memang itu juga ada benarnya. Namun kami cenderung pada pendapat bahwa penduduk langit terdiri dari malaikat dan mahluk-mahluk selain malaikat, yang dalam hal ini adalah merupakan rahasia Allah. Allah berkuasa untuk menciptakan mahluk-mahluk berperadaban di berbagai planet di seluruh penjuru alam semesta, dan tidak disebutkannya mereka di dalam Al Qur'an bukan berarti mereka tidak ada. Sebagaimana perumpamaan, di dalam Al Qur'an hanya disebutkan tentang 25 orang nabi. Namun jumlah nabi yang sesungguhnya sangatlah banyak (di dalam hadis disebutkan jumlah nabi adalah sekitar 125 ribu).
Ada juga sebuah hadis yang pernah saya baca, kurang lebih seperti ini :
Suatu hari Rasulullah SAW berjalan-jalan bersama para sahabat seusai shalat subuh, lalu beliau menunjuk ke arah langit timur lalu bersabda : "Disana ada sebuah bumi yang berwarna putih dan penduduknya juga putih, maka mereka tidak menyembah selain kepada Allah".
Demikianlah, sesungguhnya hanya Allah yang mengetahui kebenaran ada tidaknya mereka, hanya saja saya ingin mengajak anda untuk berpikir terbuka bahwa jika suatu saat benar-benar terbukti bahwa mereka ada, sesungguhnya itu hanyalah membuktikan kekuasaan yang tak terbatas dan diluar pemahaman kita dari Allah Sang Maha Pencipta. Inilah Islam, rahmat bagi seluruh alam semesta, bukan hanya rahmat bagi seluruh bumi.

Kamis, 20 Januari 2011

Farah Kinani, 

Berdakwah untuk Anak-Anak Non-Muslim

Farah Kinani tidak bisa tinggal diam melihat informasi yang bias tentang Muslim dan Islam terutama di kalangan masyarakat Barat, khususnya di AS, negara tempat ia tinggal sekarang. Baginya, seorang muslim yang tinggal di negara non-Muslim harus bisa berperan sebagai "duta-duta" Islam. 

"Kita tidak bisa berdiam diri dan menunggu mereka yang non-Muslim menemukan sendiri tentang wajah Islam yang sebenarnya. Kewajiban kita sebagai Muslim untuk mengenalkan agama Islam pada orang lain," ujar Kinani.
"Islam, dengan agama itu saya dibesarkan, artinya cinta dan kasih sayang. Islam yang saya peluk mengajarkan untuk merangkul dan mengulurkan tangan pada sesama manusia, apakah mereka muslim atau bukan, tidak ada pengecualian," paparnya.

Kinani adalah seorang muslimah Maroko yang sudah bekerja selama 10 tahun lebih sebagai wartawan di negara asalnya itu. Sekarang ia tinggal di AS mengikuti suaminya dan menjadi koresponden untuk sejumlah surat kabar Maroko.

Keinginan Kanani untuk mendakwahkan ajaran Islam ke tengah masyarakat AS ia wujudkan dengan menulis buku berjudul "Ramadan", sebuah buku yang mengeksplorasi tentang bulan Ramadan, apa saja yang dilakukan umat Islam di bulan suci itu dan tentu saja Kanani menjelaskan tentang apa itu agama Islam.
Target pembaca buku pertama Kinani adalah anak-anak non-Muslim di AS. Lewat buku tersebut, Kinani ingin menjelaskan tentang agama Islam dan meluruskan pandangan yang salah tentang Islam. Menurutnya, banyak orang yang ingin tahu lebih banyak tentang Islam

"Bagaimana media memberikan gambaran tentang Islam saat ini tidak mewakili diri saya," kata Kinani.

"Mereka mengajukan banyak pertanyaan! Setelah menerbitkan buku ini dan memberikan presentasi tentang bulan Ramadan, saya bertemu banyak orang dan menyadari bahwa mereka, seperti juga muslim lainnya, ingin mendengar penjelasan kita tentang apa yang tersebar di media."

"Kewajiban kita sebagai Muslim untuk meluruskan pandangan mereka. Kita tidak bisa tetap diam dan hanya menyesali pandangan-pandangan negatif terhadap Islam. Kita harus bertindak, apalagi kita tinggal di negara yang mau membuka dialog dan terbuka untuk mendengar pendapat orang lain sebelum memberikan penilaian. Yang kita perlukan adalah berinisiatif dan melakukan pendekatan," sambung Kinani.

Selama hampir sepuluh tahun berada di tengah masyarakat AS, Kinani melihat bahwa cara dialog dan sikap toleran terhadap sesama pemeluk agama membuka jalan bagi komunitas Muslim untuk berintegrasi dan beradaptasi. Ia berpendapat, kebiasaan untuk bertukar pikiran--khususnya terkait agama Islam--harus dimulai dari anak-anak, karena pendidikan pada masa usia dini berperan penting untuk membentuk sebuah pemikiran yang benar. Kinani sendiri memutuskan untuk menulis buku dengan target pembaca anak-anak non-Muslim di AS berdasarkan pengalamannya dengan salah seorang teman anak perempuanya.

Di bagian kata pengantar bukunya, Kinani menulis, "Ketika Laila, teman anak perempuan saya tidak ikut makan siang dengan teman-teman sekelasnya, mereka tidak mengerti apapun. Beberapa temannya berpikir Laila sedang dihukum. Sebagian lagi kasihan pada Laila dan menyarankan agar Laila bersembunyi agar bisa makan dan minum. Padahal Laila tidak sedang dihukum, ia sedang menunaikan ibadah puasa Ramadan."

Masih di kata pengantar bukunya, Kinani menulis, setelah mendengar cerita itu, ia datang ke sekolah puterinya dan mendapat kesempatan untuk menjelaskan secara singkat tentang bulan Ramadan pada teman-teman sekelas anaknya. Kinani menyadari, jangankan anak-anak, orang dewasa juga banyak yang tidak paham betapa pentingnya bulan Ramadan bagi kaum Muslimin.

Kinani melakukan konsultasi dengan sejumlah ulama saat menulis buku "Ramadan" yang cuma 23 halaman bergambar itu. Dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, Kinani menjelaskan tentang salat tarawih, malam Lailatul Qadar, zakat fitrah dan segala hal tentang Ramadan. "Saya pikir ini kewajiban kita sebagai Muslim Amerika untuk menjelaskan pada non-Muslim bahwa kita menjalankan ajaran Islam dengan benar," kata Kinani.

Buku "Ramadan" Kinani mendapat sambutan positif dari para orang tua non-Muslim. "Setelah membaca buku Kinani tentang Ramadan, puteri saya yang berusia delapan tahun awalnya mengira bahwa Ramadan hanya perayaan hari libur. Sekarang ia tahu bahwa Ramadan lebih dari sekedar hari spesial dan memahami mengapa dan bagaimana umat Islam menyambut bulan suci ini. Ini merupakan kehormatan bagi kami untuk sedikit melirik kehidupan kaum Muslimin," kata Thao Nguyen.

Hal serupa di ungkapkan Tamara Kondic, warga AS asal Kroasia-Serbia yang merekomendasikan buku Kinani dibaca oleh anak-anak dan remaja serta siapa saja yang ingin mengetahui tentang pengalaman spriitual bulan suci Ramadan.

Abisourour Boubker, seorang ekonomi di World Bank dan pendiri Ibn Khaldoun Academy juga memuji buku Kinani. Boubker yang juga banyak menulis buku tentang Islam dan Muslim mengatakan, "Farah Kinani adalah orang yang sangat cerdas, ia paham tentang komunitasnya dan komunitas masyarakat Amerika."
"Sebagai seorang muslim yang moderat dan taat, ia adalah orang yang tepat untuk mewakili agama kita. Bukan hanya orang Amerika yang membutuhkan buku ini, tapi juga anak-anak Muslim yang lahir dan besar di Amerika," tukas Boubker. (ln/isc) (http://www.eramuslim.com/)

Rabu, 19 Januari 2011

Kisah Mualaf Inggris, 

Perceraian Tak Membuatnya Meninggalkan Islam



Pekan kemarin media massa internasional memberitakan bahwa jumlah mualaf di Inggris meningkat pesat, meski agama Islam di negeri itu, seperti umumnya di negara-negara Barat, digambarkan secara negatif dan masih menjadi target kecurigaan masyarakat.
Sensus yang pernah dilakukan di seluruh wilayah Kerajaan Inggris menyebutkan bahwa pertambahan mualaf antara 14.000 sampai 25.000 orang. Tapi sebuah studi terbaru yang dilakukan lembaga think-tank lintas agama Faith Matters menyebutkan bahwa jumlah mualaf di Inggris lebih besar dari estimasi selama ini. Menurut lembaga itu, jumlah mualaf di Inggris mencapai 100.000 orang, dimana setiap tahunnya dipekirakan ada 5.000 warga Inggris yang menjadi orang Islam baru atau mualaf.
Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan jumlah orang yang menjadi mualaf setiap tahunnya di Jerman dan Perancis. Di kedua negara tersebut, diperkirakan hanya 4.000 orang yang mengucapkan syahadat.setiap tahunnya.
Yang unik dari catatan mualaf di Inggris, kebanyakan dari mereka ternyata kaum perempuan. Salah satu dari perempuan Inggris yang memilih jalan Islam itu adalah Chaterine Heseltine, seorang pengajar di sebuah sekolah perawat di London Utara. Meski ia masuk Islam karena menikah dengan seorang pemuda muslim, Heseltine mempelajari Islam dengan serius. Ketika perkawinannya kandas, Heseltine tetap teguh dengan keislamannya. Ia mengakui bahwa agama Islam telah memberikan arah serta tujuan bagi kehidupannya sekarang, dan Heseltine pun tidak segan-segan mematuhi ajaran Islam untuk menutup aurat, mengenakan jilbab.
Heseltine terbilang masih muda, usianya baru 31 tahun. Ia dibesarkan di London Utara dalam keluarga yang tidak pernah mengajarkannya untuk menjalankan ajaran agama apapun. Heseltine lebih memilih menjadi seorang penganut agnostik, sampai akhirnya ia mengenal Islam dan mulai mempelajarinya karena rasa ingin tahu.
"Kalau Anda bertanya saat usia saya masih 16 tahun, apakah saya mau menjadi seorang muslim, saya akan menjawab 'tidak, terima kasih.' Saat itu saya sedang senang-senangnya minum-minum, berpesta dan keluyuran bersama teman-teman," kenang Heseltine tentang masa remajanya.
"Dibesarkan di London Utara, kami tidak pernah menjalankan ibadah agama di rumah; Saya selalu berpikir bahwa agama itu kuno dan sudah tidak relevan lagi," ujarnya.
Heseltine lalu bertemu dengan seorang pemuda muslim yang dipanggilnya Syed. Pemuda muslim--yang kini menjadi suaminya--inilah yang mengubah semua pandangannya tentang agama. "Dia masih muda, seorang muslim, percaya pada Tuhan. Yang membedakannya dengan anak-anak muda lainnya, dia tidak minum mimuman keras," tutur Heseltine tentang Syed.
Ia melanjutkan, "Sebelum bertemu Syed, saya hampir tidak pernah menanyakan apa yang saya yakini dalam hati. Saya memilih menjadi seorang agnostik."
Heseltine dan Syed akhirnya saling jatuh cinta. Namun Heseltine segera menyadari, bagaimana ia bisa hidup bersama kelak jika Syed seorang muslim dan dirinya bukan muslim. Sejak itulah mulai tumbuh rasa ingin tahu Heseltine soal Islam dan ia mulai membaca buku-buku tentang Islam, termasuk membaca terjemahan Al-Quran.
"Awalnya, Al-Quran hanya membuat saya tertarik di tingkat intelektualnya saja, belum menyentuh sisi emosional dan spiritual saya. Saya mengagumi penjelasan dalam Al-Quran tentang alam semesta. Saya kagum bahwa 1.500 tahun lalu, Islam telah memberikan hak-hak pada perempuan, yang tidak dimiliki perempuan di Barat," imbuh Heseltine.
"Agama bukan isu yang 'keren' untuk dibicarakan, saya berusaha tetap menjaga minat saya pada Islam selama tiga tahun. Tapi di tahun pertama kuliah, saya dan Syed memutuskan untuk menikah, dan saya tahu inilah saatnya saya mengatakannya pada kedua orang tua saya," sambungnya.
Kedua orang tua Heseltine tidak terlalu antusias mendengar rencana pernikahan itu. Mereka mengungkapkan kekhawatirannya jika puterinya menikah, lalu menjadi seorang muslimah. Orang tua Heseltine membayangkan hal-hal negatif tentang posisi perempuan dalan rumah tangga muslim. "Tidak bisakah kau hidup bersama dulu (tanpa ikatan pernikahan)?" Ibu Heseltine malah menyarankan "tradisi" yang oleh masyarakat Barat sudah menjadi hal yang lazim.
"Tak seorang pun menyadari betapa seriusnya saya untuk pindah agama. Banyak orang mengira bahwa saya masuk Islam hanya untuk membuat senang keluarga Syed, bukan karena saya meyakini agama itu," tutur Heseltine.
Heseltine dan Syed tetap menikah dengan adat Bengali. Mereka lalu tinggal di sebuah flat. Di awal menikah, Heseltine belum terpikr untuk mengenakan jilbab, ia hanya mengenakan bandana atau topi. Pelan-pelan, Heseltine memulai cara hidup yang islami. "Saya ingin orang menilai dari intelijensia dan karakter saya, bukan dari penampilan," tukasnya.
Sebagai orang yang tidak pernah menjadi bagian komunitas agama, apalagi komunitas agama yang menjadi minoritas di negaranya, Heseltine mengakui harus melakukan penyesuaian diri yang besar. Beberapa temannya ada yang syok melihat Heseltine menjadi seorang muslimah, sebagian lagi bisa menerima 'identitas' barunya itu.
"Apa, tidak minum-minum, tidak pakai narkoba, tidak pacaran? Saya tidak bisa melakukannya," kata seorang teman Heseltine yang syok mengetahui Heseltine sudah menganut agama Islam. Bukan cuma itu, butuh waktu bagi Heseltine untuk mengingatkan teman-temannya yang lelaki agar tidak lagi mencium pipinya saat bertemu. "Saya harus mengatakan, 'maaf, ini soal menjadi seorang muslim'," ungkapnya.
Seiring waktu berjalan, Heseltine malah lebih religius dibandingkan Syed, suaminya. Perbedaan-perbedaan pun mulai bermunculan. Pada akhirnya, Heseltine berpikir bahwa kehidupan perkawinan adalah sesuatu yang berat bagi Syed. Syed makin menjauh dan hubungannya dengan Heseltine makin renggang. Setelah tujuh tahun menikah, perceraian tak bisa dicegah lagi. Heseltine kembali ke orang tuanya.
"Ketika saya pulang ke rumah orang tua, semua orang sangat terkejut karena kemana-mana saya masih mengenakan jilbab. Tapi, jika ada satu hal yang memperkuat keimanan saya, saya merasakan sendiri menjadi seorang muslim yang independen, bebas dari bayang-bayang seorang Syed," ujar Heseltine.
"Islam telah memberi saya tujuan dan arah kehidupan. Saya melibatkan diri dengan organisasi Muslim Public Affairs Committee dan ikut berkampanye melawan Islamofobia, melawan diskriminasi terhadap perempuan, berkampanye untuk mengentaskan kemiskinan, juga berkampanye untuk mendukung rakyat Palestina."
"Ketika banyak orang menyebut kami 'ekstrimis', saya hanya berpikir sebutan itu sangat konyol. Banyak persoalan dalam komunitas Muslim, tapi kalau kita merasa tertekan, hal itu hanya akan mempersulit kita untuk maju," papar Heseltine.
Ia menegaskan, sebagai seorang muslim, ia juga masih merasa sebagai bagian dari masyarakat Inggris. Butuh beberapa saat bagi Heseltine untuk menyesuaikan kedua identitas itu.
"Tapi sekarang, saya merasa percaya menjadi diri saya apa adanya. Saya bagian dari dua dunia itu dan tak seorang pun boleh merampas kedua dunia itu dari saya," tandasnya. (ln/To) (Eramuslim.com)